Mengantar Sang Pengantar

“(Setiap) pagi kusirami intelekku dengan filsafat
Bhagavad Gītā yang sangat luas dan dahsyat;
jika dibanding dengannya, literatur modern
terasa sangat kecil dan tidak berarti.”

Henry David Thoreau (1817 – 1862)
Pemikir/Penulis asal Amerika Serikat

 

Bhagavad Gītā Berarti: Madah Mulia.…. Bhagavad berarti Mulia, Ilahi, dan Penuh Berkah. Dan, Gītā berarti Lagu, Syair, Nyanyian…. Bhagavad Gītā adalah Nyanyian Ilahi, Nyanyian Mulia yang Memuliakan. Nyanyian Penuh Berkah nan Membawa Berkah – sebuah lagu nan indah dan bermakna. Maka dapat memberi makna, dan membuat hidup menjadi musikal.

Dengarkan suara air, perhatikan suara angin, semuanya berirama. Hidup kita pun dapat menjadi berirama. Kita pun dapat menyelami kehidupan dan menikmati setiap pengalaman – yang dibutuhkan hanyalah sedikit keberanian.

Hidup memang tidak tanpa risiko. Ada ikan-ikan raksasa dan ganas yang siap melahap kita. Namun ada pula mutiara dan permata yang dapat menjadi milik kita. Waspadalah setiap saat. Jangan waswas, tetapi selalu siap-siaga. Pintar-pintarlah melindungi diri dari segala macam ancaman dan serangan. It’s worth it. Segenggam saja mutiara yang diperoleh dari lautan kehidupan ini sudah dapat mengubah kualitas hidup kita… dapat membuat hidup kita menjadi lebih berirama, lebih mulia.

Ulasan Bhagavad Gītā ini – saya harap, saya berdoa – dapat menjadi sarana bagi kita untuk meraih mutiara dan permata yang tak terhingga nilainya. Bukan segenggam saja, tetapi beberapa genggam, sehingga kita dapat berbagi dengan mereka yang selama ini hidup di pantai kehidupan, tidak pernah menyelaminya.

Namun, sebelumnya…. Sedikit tentang epos besar Mahābhārata, di mana Bhagavad Gītā merupakan bagian kecil namun sangat penting. Mahābhārata berarti Dinasti Bhārata yang Agung. Mahābhārata adalah sejarah, non-fiksi, yang ditulis dengan gaya novel pop pada zamannya. Bagi saya, ia, Mahābhārata adalah sebuah karya roman, Roman Kehidupan.

Kurang lebih 3.000 tahun sebelum Masehi, ketika Pusat Peradaban adalah Miśra (Mesir), Tibet (Sekarang bagian dari Republik Rakyat Cina) dan Sindhu (Anak Benua Hindia atau Jambūdvīpa, di mana Kepulauan Nusantara adalah bagian darinya)….

Di Medan Perang Kurukṣetra, di luar kota Hastināpura (sekarang Ibu Kota India, Delhi), berkumpul dua pihak, masing-masing haus akan darah lawannya, padahal masih berhubungan keluarga. Di satu pihak ada putra-putra Dhṛtarāṣṭra yang buta sejak lahir, dan di pihak lain adalah Pañca Pāṇḍava – Pendawa Lima – putra-putra Pāṇḍu, adik Dhṛtarāṣṭra.

Epos Mahābhārata mengingatkan bahwa dunia kita tidak pernah berubah. Perang dahsyat yang terjadi di medan perang Kurukṣetra masih berlanjut. Skenario dasar sejarah dunia masih sama. Para pemeran saja yang berubah. Setting dan dekor berubah, namun panggungnya tetap sama. Ceritanya itu-itu juga.

Perang Disebabkan oleh Keserakahan. Selama manusia masih serakah, perang tidak dapat dihindari. Kita boleh bicara tentang kedamaian, tetapi selama keserakahan masih ada – persaingan, kebencian, perang dan kerusuhan tidak dapat dihindari.

Skenario keserakahan inilah landasan kisah Mahābhārata…. Kendati, Mahābhārata tidak berhenti pada landasan tersebut. Lewat Bhagavad Gītā, Mahābhārata juga menawarkan solusi untuk memerdekakan Jiwa dari belenggu keserakahan, dan belenggu-belenggu lainnya.

Pewaris Kerajaan Hastināpura, Dhṛtarāṣṭra, tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang Raja. Bukan saja karena kebutaan fisiknya sejak lahir, ia memang kurang kompeten dibandingkan dengan Pāṇḍu, yang walau sakit-sakitan juga, masih tetap lebih mampu.

Para bijak, di antaranya Sang Kakek Tua Bhīṣma, dengan satu suara memutuskan bahwa yang memegang pucuk pemerintahan memang seharusnya Pāṇḍu.

Pāṇḍu dinobatkan menjadi Raja, tetapi ia tidak hidup lama dan administrasi kenegaraan diamanatkan kepada Dhṛtarāṣṭra. Saya ulangi: Diamanatkan, dititipkan. Peran Dhṛtarāṣṭra hanyalah simbolik saja. Di belakang layar yang bekerja tetaplah para bijak dan petinggi seperti Resi Droṇa, Bhīṣma, dll.

Pāṇḍu meninggalkan lima orang putra: Yudhiṣṭhira, Bhīma, Arjuna, Nakula dan Sahadeva. Namun, tidak seorang pun diantaranya dinobatkan sebagai putra mahkota. Nasib kerajaan Hastināpura dalam keadaan limbo, tidak menentu.

Para bijak dan petinggi negara memutuskan untuk wait and see. Di antara putra Pāṇḍu, dan putra Dhṛtarāṣṭra yang berjumlah 100 orang – mereka mesti memilih seorang yang terbaik. Mereka sudah cukup bijak, sudah cukup beradab, sehingga….

Sistem Suksesi Tidak Dipakai Lagi – Kerajaan tidak dianggap milik keluarga. Seorang Raja dianggap sebagai mandataris, bukan sebagai penguasa, apalagi pemilik. Ia hanyalah seorang pengurus kerajaan. Ia tidak dapat berbuat semaunya. Tugasnya adalah melayani rakyat. Mengacu pada ideologi luhur itulah Yudhiṣṭhira terpilih sebagai Raja Hastināpura. Namun, para Kaurava atau Kurawa, putra-putra Dhṛtarāṣṭra, di antaranya Duryodhana dan Duḥśāsana tidak dapat menerima keputusan tersebut.

Keadaan semakin parah, karena hasutan Śakuni, paman mereka. Berulangkali mereka berusaha untuk membunuh para Pāṇḍava, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka menggunakan taktik, tipu muslihat. Yudhiṣṭhira diundang untuk main dadu. Yudhiṣṭhira kalah… kalah terus, sampai ia harus mempertaruhkan kerajaannya dan kerajaan pun lenyap. Demikian,  Yudhiṣṭhira mengkhianati amanah yang diembannya, mandat yang diberikan kepadanya.

Kerajaan Bukanlah Milik “Pribadi” Seorang Raja. Siapa yang memberikan kuasa kepada dia untuk mempertaruhkannya? Yudhiṣṭhira salah dan harus mendapatkan hukuman atas kesalahannya.

Para sesepuh sepakat untuk membagi kerajaan Hastinā antara Kaurava, Duryodhana dan adik-adiknya, dan Pāṇḍava, Yudhiṣṭhira dan adik-adiknya. Di pihak Pāṇḍava, ada sosok Kṛṣṇa sebagai penasihat, seorang bijak yang relatif muda umurnya jika dibanding dengan Bhīṣma, Droṇa, dan lainnya yang berada di pihak Kaurava.

Bhīṣma dan Droṇa tahu persis bahwa pihak Kaurava mendapatkan kerajaan dengan cara yang tidak jujur. Namun mereka tetap juga berpihak pada Kaurava. Mereka mengartikan keberpihakan itu sebagai loyalitas terhadap negara Hastinā. Mereka lupa bahwa….

Seorang Negarawan Sejati Berpihak pada Bangsa dan Rakyat. Adanya negara dan pemerintahan karena adanya bangsa dan rakyat. Bukan sebaliknya. Negara, Pemerintahan, Perundangan-undangan, Hukum, Peraturan, semuanya mesti untuk memfasilitasi, melayani dan berpihak pada rakyat – bukan untuk menguasai, bukan demi kekuasaan atau politik semata.

Bhīṣma, Droṇa, dan para petinggi lain yang berpihak pada Kaurava tahu persis bila Kerajaan Hastinā di bawah kekuasaan Kaurava sudah tidak lagi mewakili kerajaan ideal. Keberpihakan mereka pada pemerintahan yang zalim dan tidak peduli terhadap rakyat, bahkan menindasnya – sudah jelas-jelas melanggar nilai-nilai dharma atau keluhuran.

Kembali pada Yudhiṣṭhira….

Bayangkan Seorang Raja Menjual Negara! Itulah yang terjadi ketika Yudhiṣṭhira diundang lagi untuk main dadu. Saudara dan sahabat berupaya untuk mencegah, “Jangan Yudhiṣṭhira, jangan lagi. Mereka licik. Mereka akan menipumu lagi. Mereka akan merampas segala apa yang kau miliki.”

Yudhiṣṭhira tidak mengindahkan peringatan-peringatan itu, “Kaurava adalah saudaraku, sepupuku. Tidaklah patut kucurigai niat mereka. Selain itu, Duryodhana adalah Raja Hastinā. Seorang Raja mengundang Raja yang lain. Penolakanku akan mengirimkan isyarat yang keliru. Sungguh memalukan bagi seorang Raja untuk menolak undangan raja yang lain.”

Tidak enakan. Segan untuk mengatakan “tidak”. Kurang, atau bahkan tidak tegas. Inilah kelemahan utama seorang pemimpin. Tanpa ketegasan, seseorang tidak bisa memimpin.

Alkisah, Yudhiṣṭhira kalah lagi. Kerajaannya hilang, para Kaurava mempermalukan mereka, istri mereka, dan merampas seluruh harta benda mereka. Kaurava masih juga belum puas sampai para Pāṇḍava dihukum untuk mengembara dalam pengasingan selama dua belas tahun.

Pengasingan adalah siasat Paman Śakuni untuk memisahkan Pāṇḍava dari rakyatnya. Pikir sang paman, “jauh dari mata, jauh dari hati – rakyat sudah pasti melupakan mereka. Dan, keponakanku, Duryodhana, dapat berkuasa tanpa gangguan.” Mereka takut dengan popularitas para Pāṇḍava. Kenapa? Karena,

Kurang Percaya Diri – para Kaurava takut akan popularitas Pāṇḍava. Pāṇḍava diasingkan, sebab keberadaan mereka dianggap dapat mendorong rakyat untuk melakukan pemberontakan.

Pengasingan selama belasan tahun adalah siasat untuk menghilangkan jejak Pāṇḍava dari sejarah Hastinā. Cara-cara klasik seperti ini masih saja digunakan. Aneh, kita tidak pernah belajar dari sejarah. Kenapa mesti takut dengan persaingan?

Kita menghalalkan segala cara untuk mengakhiri persaingan. Bahkan, jika memungkinan, mengakhiri para pesaing.  Kita berupaya keras untuk mengeluarkan mereka dari arena permainan. Dari segi strategi dunia pun merupakan langkah yang salah: Selama kompetitor masih di arena permainan atau pertempuran yang sama, kita masih dapat mengukur kekuatannya. Tetapi, begitu keluar dari arena, kita putus hubungan secara total dan tidak dapat memantaunya lagi.

Dengan mengasingkan Pāṇḍava, Kaurava melakukan kesalahan besar. Dalam perantauan dan pengasingan itu, di bawah bimbingan Kṛṣṇa, para Pāṇḍava malah membangun kekuatan. Mereka bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk – yaitu setelah berakhirnya masa pengasingan, bila kerajaan mereka tidak dikembalikan sesuai dengan perjanjian.

Ternyata, kekhawatiran Pāṇḍava terbukti juga. Duryodhana dan para saudaranya enggan mengembalikan kerajaan. Janji yang pernah dibuat tidak ditepati. Dibalik penolakan itu, lagi-lagi adalah siasat buruk Paman Śakuni yang bekerja.

Pengaruh Pergaulan Yang Tidak Menunjang Kesadaran – Paman Śakuni adalah pengaruh buruk bagi Kaurava. Akhirnya, pertempuran pun tidak dapat dihindari. Kedua pihak memang harus bertemu di medan perang Kurukṣetra. Kṛṣṇa menjadi sais kereta perang Arjuna, dan ia pula yang mengantarnya pada kemenangan.

Kṛṣṇa mewakili Pikiran Jernih, Perasaan yang Kuat, Keteguhan Hati…. Dan, Arjuna mewakili Daya-Upaya, Semangat Kesatria, dan Keberanian untuk menghadapi tantangan – itulah Arjuna yang terlahir kembali lewat wejangan Kṛṣṇa dalam Bhagavad Gītā. Di mana ada Kṛṣṇa dan ada Arjuna, niscayalah disana adanya kemenangan dan keberhasilan.

Sementara itu, penulis epos besar Mahābhārata, di mana Bhagavad Gītā merupakan bagian darinya, Begawan Vyāsa, adalah seorang saksi mata. Ia berperan sebagai Wartawan Perang. Ia melaporkan apa yang dilihat dan dialaminya sendiri.

Vyāsa, Sang Begawan, tidak melaporkan sesuatu yang didengarnya dari pihak lain. Dia bukan “saksi-katanya” atau “saksi-konon”. Dia memenuhi setiap syarat untuk menjadi saksi otentik.

Vyāsa juga sangat, sangat objektif. Ia melaporkan setiap kejadian dengan sejujur-jujurnya. Ia tidak berpihak pada siapa pun. Ia tidak mencela salah satu pihak.

Ia sadar betul, bila Kaurava adalah pihak yang sangat serakah, para Pāṇḍava pun tidak 100% baik. Yudhiṣṭhira adalah seorang penjudi berat. Setiap kali tertipu dan kalah, namun tetap juga tidak dapat mengendalikan dirinya dan tetap main judi.

Bhīma lebih banyak mengandalkan kekuatan otot. Arjuna penuh keraguan. Sementara itu, Nakula dan Sahadeva tidak memiliki peran yang kuat, peran yang penting.

Sebaliknya, di pihak Kaurava, Duryodhana masih tetap memiliki sifat-sifat kesatriaan. Seandainya, ia tidak terpengaruh oleh hasutan Paman Śakuni, perang Bhārata-Yuddha pun tak akan terjadi. Kesalahannya adalah wrong company. Ia cepat sekali terpengaruh oleh hasutan-hasutan dari mereka yang dekat dengan dirinya.

Pāṇḍava–Kaurava, Baik-Buruk/Buruk-Baik: Di antara yang buruk, Pāṇḍava adalah yang terbaik. Mereka jauh dari sempurna. Namun, Kṛṣṇa, Sang Bijak, harus berada di pihak Pāṇḍava, karena dalam kehidupan ini kita mesti menentukan sikap dan tidak dapat mengambang terus menerus.

Kita harus memilih yang terbaik. Jangan menjadi idealistik yang kaku; ideal belum tentu terpenuhi. Kita akan kecewa. Berperanlah sebagai Kṛṣṇa, pilihlah yang terbaik di antara yang buruk.

Akhirnya, pasukan Pāṇḍava dan Kaurava harus saling berhadapan di medan perang Kurukṣetra, dengan Kṛṣṇa sebagai sais kereta perang Arjuna – tanpa senjata, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Arjuna minta kepada Kṛṣṇa untuk membawa keretanya persis di depan barisan pasukan Kaurava untuk melihat suasana dan persiapan mereka dari dekat.

Jadikan Śri Kṛṣṇa – Sang Sais Agung – sebagai Sais Kereta Kehidupan, maka tidak ada lagi kekalahan, tidak ada lagi kegagalan. Saat ini, kita menempatkan nafsu birahi, keserakahan, keangkuhan, dan lain sebagainya, pada posisi sais. Itu sebab kegagalan dan kekalahan kita.

Apabila kita menempatkan Akal Sehat, Pikiran yang Jernih, dan Hati yang Bersih pada posisi sais, hidup akan berubah menjadi suatu lagu yang indah. Kita akan menikmatinya dan mereka yang mendengar pun akan ikut menikmatinya. Hidup kita dapat menjadi suatu Perayaan.

Kendati, setelah menerima Kṛṣṇa sebagai sais pun, Arjuna masih sempat goyah. Melihat kesiapan pasukan Kaurava, semangatnya mengendur, ia ketakutan. Melihat sepupu-sepupunya; kakek Bhīṣma yang kesaktiannya tidak dapat ditandingi; dan Resi Droṇa, Sang Guru – terasa mustahil untuk memenangkan perang.

Namun ia licik, ia menutupi rasa takutnya dengan menggunakan dalil-dalil, yang terasa sangat moralis, Bagaimana aku harus melawan mereka? Mereka adalah orang-orang yang patut kuhormati. Lebih baik aku terbunuh tanpa perlawanan atau meninggalkan medan perang ini, daripada membunuh mereka. Lihat Kṛṣṇa, Guruku, Kakekku, Paman-pamanku, Saudara-saudaraku…  Kṛṣṇa aku tidak akan berperang.”

Keraguan Arjuna – Inilah isi Percakapan atau Bab Pertama Bhagavad Gītā. Gītā terdiri dari 18 Percakapan, Dialog, atau Bab. Percakapan Pertama ini penting sekali. Di sini kita melihat kelemahan manusia. Arjuna sudah lama menunggu hari itu. Ia sebenarnya sudah menyiapkan diri untuk bertempur melawan Kaurava. Namun masa persiapan diri belum dapat dijadikan tolak ukur.

Belajar ekonomi dan meraih gelar saja tidak cukup. Kelayakan diri baru terbukti ketika kita terjun dalam dunia usaha nyata. Dan, setiap mau memasuki arena usaha nyata, seorang sarjana yang baru lulus pasti ragu, bimbang. Kebimbangannya sangat alami.

Sungguh beruntunglah kita, jika saat itu memperoleh bimbingan praktis dari seorang Kṛṣṇa. Jika saat itu akal sehat bekerja, maka suara Kṛṣṇa akan terdengar jelas, “Jangan jadi pengecut, jangan melarikan diri; hadapilah kenyataan hidup!”

Dalam Percakapan atau Bab Kedua, kita menemukan ringkasan seluruh Bhagavad Gītā. Selanjutnya, Bab Ketiga hingga Kedelapanbelas merupakan penjabaran atas apa yang sebelumnya telah dijelaskan secara garis besar.

Hidup adalah Misteri Terbesar – Gītā mewakili misteri itu. Gītā tidak menyempitkan diri bagi dan untuk kelompok, penganut kepercayaan, atau masyarakat tertentu. Gītā seterbuka hidup ini sendiri.

Gītā mewakili Sanātana Dharma – Kebijakan Abadi yang sudah ada sebelum adanya kepercayaan-kepercayaan, keyakinan-keyakinan besar dunia. Kebijakan Abadi ini ibarat panasnya api, wanginya tanah, lembutnya air, sejuknya angin, dan luasnya angkasa. Kebijakan Abadi ini bukanlah monopoli salah satu golongan atau kelompok manusia. Kebijakan Abadi ini terlalu tinggi, terlalu luas, terlalu besar, dan terlalu dalam untuk dipenjarakan dalam salah satu sel kepercayaan buatan manusia.

Kita tidak perlu menganut kepercayaan tertentu untuk menyelami Gītā. Gītā juga tidak mengharuskan kita untuk menerimanya begitu saja sebagai kredo, dogma, atau doktrin. Gītā membuka dialog, dan siapa saja dapat menjadi bagian dari dialog itu.

Gītā adalah Dialog Kehidupan – Kita menggunakan kesempatan ini untuk berdialog dengan Kṛṣṇa, atau sekadar mendengarkan dialog antara Kṛṣṇa dan Arjuna – terserah. Pilihan di tangan kita, sepenuhnya.

Saya memanfaatkan dialog ini untuk membantu saya menyelami misteri kehidupan. Tapi, itu urusan saya. Anda tidak perlu mengikuti saya. Sekali lagi, undangan saya hanyalah untuk menyelami bersama lautan Gītā ini. Tidak lebih, dan tidak kurang dari itu.

Silakan menemukan pemahaman Anda sendiri. Silakan menentukan sendiri bila sebagian atau seutuhnya dialog ini masih relevan. Apakah Gītā masih bisa diaplikasikan dalam zaman modern ini, dan oleh orang modern seperti Anda dan saya – kita akan melihatnya bersama.

Mari kita belajar dari masa lalu, tapi tidak hidup dalam khayalan masa lalu. Sesungguhnya tak seorang pun bisa hidup di masa lalu. Nasi Goreng yang kita makan kemarin tidak bisa mengenyangkan kita hari ini, apalagi untuk selamanya hingga akhir zaman. Kita butuh makan dan minum setiap hari. Makan, minum, dan bernapas tidak bisa dilakukan dalam masa silam, mesti dalam masa kini.

Kita boleh, dan mesti belajar dari masa lalu. Mesti mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman di masa lalu – tapi, hidup dalam kekinian. Kejayaan masa lalu boleh saja dikenang, tetapi itu tidak akan serta-merta menjayakan masa kini kita. Untuk menjayakan masa kini, tetaplah kita mesti mencurahkan keringat, tetaplah kita mesti berkarya, dan membanting tulang di masa kini. So, are we ready, siapkah kita?

Mari Kita Menyelami Lautan Berkah Gītā ini dengan santai, rileks… Gītā adalah buku terbuka bagi setiap orang yang dapat membacanya. Sebab itu, undangan saya hanyalah untuk menyelami Lautan ini bersama-sama. Mutiara dan permata apa dan seberapa yang Anda peroleh dari Lautan nan luas ini sepenuhnya tergantung pada upaya Anda sendiri.

Undangan saya ini adalah untuk belajar bersama, berkarya bersama…. semoga tidak terjadi kesalahpahaman antara kita. Dan, bila terjadi, maka, semoga kita dapat saling memaafkan, dan meluruskan apa yang salah… Amin, Amen, Sādhu, Aum Śāntiḥ, Peace, Peace, Peace, Damai, Damai, Damai….

 

“Rāmāyaṇa dan Mahābhārata adalah dua ensiklopedia kuno tentang kehidupan dan kebijakan nan mulia,
menggambarkan peradaban ideal yang masih harus
diupayakan oleh umat manusia.”

Swami Vivekananda (1863-1902)
Pemikir/Pembaharu Zaman asal India

 

Selanjutnya →